membekukan waktu di warung kopi Jogja


Kalau ada yang mengatakan jogja terdiri dari angkringan, rindu, dan kenangan, bisa dipastikan, mereka hanya menikmati Jogja sesaat tanpa mendalami seluk beluk kehidupannya.

Jogja adalah tempat di mana kamu bebas mendiskusikan apapun: teori marxis, revolusi Iran, Ahmadiyah, Ateisme dan lainnya, tanpa mesti disusupi perasaan was-was dipersekusi. Walaupun dalam beberapa hari ini –semenjak tulisan ini dibuat, aksi persekusi diskusi revolusi Iran di sekretariat Social movement Institut didatangi oleh sekelompok orang yang mengira, SMI tengah mengajarkan ajaran Syiah.

Jogja-lah, tempat di mana ragam buku-buku, Pram, Syiah, gerakan kiri, dan terma-terma yang selama ini dianggap melawan pakem moral bangsa, bebas bertebaran dan dimiliki siapapun, selama itu sebatas mempelajarinya dalam ranah akademik. Siapapun yang pernah menimba ilmu di kota ini, akan mengakui kultur kebebasan akademik di kota pelajar ini bisa dinikmati sedemikian rupa.

Warung kopi yang bertebaran di sudut-sudut kota Jogja, turut banyak menjadi saksi bisu geliat diskusi, yang tanpa henti berdenyut dari obrolan-obrolan antara bunyi dentingan porselen putih. Tempat di mana kopi, dengan kesederhanaannya, ditampung menemani obrolan-obrolan itu.

Di warung kopi inilah, anda bebas mendapati pengunjung bersarung ria, atau; wanita berjilbab tengah asyik menikmati kretek, atau; pria berambut gondrong dengan rebel style berwara wiri sembari mengobrolkan persoalan bangsa, film, teori, buku, revolusi, tim sepak bola, hingga percintaan picisan.

Atau, penulis-penulis ternama jogja semisal; Aguk Irawan, Mas edi AH Iyubenu, Mahfudh Ikhwan, duduk menyendiri di sudut ditemani kretek dan kopi, adalah pemandangan lazim yang bisa kamu temui di sini.

Saya banyak menikmati hal-hal tersebut di sebelah rel, daerah Sorowajan. Daerah yang banyak dihuni mahasiswa UIN Suka, juga, kedai-kedai kopi sederhananya; Kebun Laras, Gibol, Kopas, Joglo, Blandongan, hingga Basa Basi, menemani ruang public mahasiswa UIN ditengah gempuran café yang mulai menggerogoti kesederhanaan kota Jogja.

Maka, mendapati sejumlah nama warung kopi itu, bertengger di lembaran terima kasih di skripsi, tesis, hingga disertasi, adalah cara sederhana mereka, yang mengakui warung kopi merupakan keseharian mereka menempa ilmu di kota pelajar ini, Jogjakarta. sebelum akhirnya, tali toga berpindah, dan tiket kepulangan memaksa mereka kembali ke peraduan. berkarir, beranak-pinak, dan sesekali merindui nuansa keramah-tamahan warung kopi Jogja.

sebab, ada banyak kenangan terlampau membeku dari secangkir kopi. Menjadi bagian dari perayaan tim sepak bola memenangi pertandingan, cacian menyeruak dari penonton lawan, atau kisah romansa bermula, ditemani lagu dangdut, koplo, reage dan ragam music lainnya, mau tak mau, membuat kita merindui suasana itu. diam-diam, atau mengakui secara terbuka melalui status-status mellow di akun sosial media.

Ada keinginan untuk datang menyambangi warung kopi itu. Duduk di tempat favorit, atau menghabiskan waktu semalam suntuk sembari menyelesaikan tulisan-tulisan ditengah gempuran dateline. atau, aktifitas apapun yang biasa kamu habiskan di sini. Bagaimanapun, warung kopi telah menjadi bagian semesta kehidupan mahasiswa Jogja dengan segala kisah pilunya, menghabiskan hari di kota pelajar ini.

Dan, membekukan semua kenangan tersebut, ke dalam barisan-barisan 400 kata, adalah satu dari sekian usaha merawat kenangan, dari balik merindukan kesederhanaan warung kopi Jogja. Terima kasih Blandongan, Kopas, Gendhong, Gibol, Basa Basi dan lainnya. Salam satu cangkir, bung, puan dan nyonya.

Write a comment