Abdi, Timur, dan hal-hal lainnya


Dari sekian kawan saya di Jogja saat menempuh bangku kuliah S2, Abdi termasuk kawan dekat. Perawakannya tinggi, berhidung mancung, dan memiliki karisma sebagaimana manusia Indonesia Timur pada umumnya.

Indonesia Timur, sebuah istilah yang kerap terlalu distorsi karena memukul rata keberagaman budaya dan suku Indonesia dibagian timur dengan satu identitas tunggalnya; berambut kribo, berkulit sawo matang, dan terkadang dicitrai berwatak keras. Sebuah label, yang kadang sering dilontarkan masyarakat Jawa pada umumnya.


Berasal dari pulau Flores, Solor-NTT, Abdi menjadi jembatan saya memahami budaya Jawa, terutama Jogja. Tata krama, kebiasaan, cara bertutur, yang nyaris agak berbeda dari tempat asal saya, Gorontalo.

Abdi juga, yang semasa awal kuliah dulu, sering menawari tumpangan ketika kuliah usai. Dari situ, keakraban kami terjalin. Saling bercerita dengan logat dan diksi khas Indonesia timur, semisal, kita, ngana, dll, juga bertukar informasi seputar budaya di daerah masing-masing. Terlebih, selera humor (MOP) yang banyak, makin membuat kami saling berbagi canda disela-sela perkuliahan.

Alumni dari UIN SUKA, Yogyakarta ini secara umur lebih senior dari saya. Tetapi jarak itu tak membikin relasi senior-junior tercipta. Sebaliknya, yang ada adalah perkawanan laksana orang seumuran. Kadang, kami mendiskusikan buku, bahan kuliah, tapi tak sedikit juga menyerempet ke hal-hal yang sifatnya sangat lelaki; bola kaki, juga seks.

Sependek yang saya tahu, kepiawaian Abdi dalam bermain futsal memang mumpuni. Terbukti, semasa S1 lalu di UIN SUKA, ia dipercayai menjadi bagian tim futsal kampus. Sekalipun sudah berstatus alumni. Makanya, selain buku, koleksi sepatu futsalnya termasuk banyak. Meski mengherankan, kemampuan permainannya di lapangan, tak berbanding lurus saat ditantang bermain gim bola kaki virtual.

Ada dalam sekali bercerita, ia mendaku pernah mendapat beberapa pacar dan gebetan sewaktu membela almamaternya di lapangan dulu. Postur tubuh tinggi, juga berwajah blasteran Portugis dan berkulit eksotik itu, memang menjadi daya tarik. Belum lagi kepiawaiannya menyisipkan humor dalam obrolan. maka, Siapapun yang baru bertemu dan mengenalnya, minimal punya kesan positif dengan orang ini. dan kalau ia memainkan gitar. Niscaya enam senar itu bisa digubahi dengan larik-larik lagu timur dari kepulauan Tarnate, Ambon, sampai Manado yang manis manja menggoda itu. Atau, lagu-lagu dari musisi sekelas Glen. Nona mana coba yang sonde suka?

Awal tahun lalu, ia wisuda. Tesisnya mengangkat kasus Ahok dalam kacamata hukum, berhasil dipertahankan dengan baik. Sebuah topik yang tidak mudah memang. Terlebih pasca Pilkada Jakarta kemarin, polarisasi masyarakat sangat kentara. Termasuk juga saat ia disidang tesis. Konon, salah seorang dosen penguji menanyakan tanggapan peneliti perihal kasus Ahok kemarin. Lalu disusul label politik; pro penista atau tidak. Sebuah sikap yang ditujukan oleh dosen itu, yang bagi saya patut disayangkan. Bagaimana pun, penelitian yang dilakukan oleh kawan saya memang harus mengedepankan independensi peneliti terhadap objek penelitiannya guna meminimalisir keberpihakan yang bisa bias terhadap hasil penelitian.

Ada yang paling berkesan usai prosesi wisudanya Abdi. Di kontrakannya yang terletak di gang daerah belakang rumah sakit di Taman siswa itu, seusai salat Magrib, kami berkumpul membentuk majelis. Seorang tetua dari NTT datang. Berperawakan kebapakkan yang jenggot dan rambutnya sudah dimakan usia; putih. Lambang kematangan hidup. kami menggelar doa di situ. Dipimpin oleh tetua. berkhusyu. Merapalkan doa, harapan juga kebanggaan atas wisuda teman kami. Dari teman-teman semasa kuliah, sesama daerah, warga sekitar, dan kedua orang tua, beserta kakaknya. Sebuah ritual wisuda yang sangat menjunjung tinggi filosofi daerah yang kental dengan nuansa spiritual. Ini semacam momen langka yang saya ikuti, di mana kebanyakan pesta kecil-kecilan kerap jadi pilihan dalam merayakan kelulusan.

Pada akhirnya, dipenghujung tangan yang ditadahkan sejajar dengan dada, kepala yang menunduk, mata tertutup, di sela-sela rapalan-rapalan doa, dan kata amin, saudara Abdi akan kami kenang, juga dilepaskan untuk menebar benih keilmuan di kampung halamannya. Dan obrolan-obrolan nakal, kritis, secercap kopi hitam, rokok yang terlanjur sering dibagi, akan mengendap lama, dan membentuk kenangan-kenangan kecil di sudut-sudut kota Jogja. Dari Demangan, Blandongan, Mato Kopi, Nologaten, hingga Semarang. Salam sofi kawan!


Write a comment