Welkom Bij 27





Pagi bulan Juni, saat beberapa orang tengah sibuk berbaris merayakan hari pancasila di penghujung bulan ramadan, sebuah pesan masuk muncul dari notifikasi instagram. isinya singkat. penuh harapan dan doa-doa. "selamat ulang tahun yang ke 27 kak. semoga bla bla bla"

Saya baru sadar. pagi itu, usia saya genap berumur 27 tahun. Usia yang dianggap keramat dikarenakan kategori remaja sudah tak layak disematkan. sedangkan kategori pemuda, dalam waktu tiga tahun mendatang, tak laik untuk melabeli kategori seorang manusia matang.

Usia 27 mungkin teramat krisis, penuh pesimis, di samping optimisme yang masih membuncah untuk mengejar mimpi sebelum matang di angka 30. ada banyak orang yang mengalami fase krisis di usia ini. kendati, karir tengah memuncak. juga ketenaran. Dari Kurt Cobain, hingga Jim Morisson, adalah segelintir tokoh musisi yang meninggal di usia 27 tahun. Tidak mengherankan, bila Soe Hoek Gie, dalam salah satu sajaknya yang terangkum di dalam catatan demonstran, mengutip lakon Oedipus at Colonus, bahwa nasib manusia dari yang terbaik sampai terburuk terdiri dari tidak pernah dilahirkan, lalu mati muda, hingga tersial hidup sampai tua.

Mungkin itulah penggalan yang sisipkan ke dalam puisi Gie yang penuh dramatis sebelum ajal menjemputnya di usia muda. sendirian di puncak gunung Semeru, dengan niat merayakan hari kelahirannya.

Saya membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu --mati muda, laiknya Gie-- dengan segala skenario yang muncul dari kepala. mati di tanah rantau. sendirian di dalam kamar kosan. ditengah menyelesaikan studi S2 yang tak kunjung rampung. di sisi lain, beban sosial terus menekan; segera bekerja, berkarir, menikah, lalu beranak-pinak sebagaimana lazimnya kehidupan teman-teman saya.

Katanya, manusia Indonesia semacam saya ini, yang berumur dari 20 hingga 30 tahun, diproyeksikan sebagai bonus demografi di tahun 2020. kategori itu disematkan dengan tingginya rasio angka produktif dibandingkan dengan kategori anak-anak dan orang tua. maka tidak mengherankan, bila ada semacam harapan bagi orang-orang yang memasuki usia produktif untuk andil dalam membangun negeri. bekerja, dan menghasilkan pajak bagi devisa negara.

Tetapi nasib orang memang berbeda-beda. ada yang frustasi karena baru memasuki kehidupan berkeluarga dengan segala bebannya; mencari nafkah, menghidupi anak orang, dan bertahan ditengah minimnya pekerjaan. ada pula yang tengah meratapi nasib karena belum menjalani apapun dan masih menuntaskan studi.

Saya jadi teringat, kawan saya yang sementara menyelesaikan studi magisternya di UGM, pernah mengakui kefrustasian semacam ini. ia ingin segera menikah. tapi studinya belum rampung. dan ia malu dibuatnya. memaki keadaan, atau bahkan menertawakan, dan sesekali meceritakan kepada orang lain, hanyalah cara untuk menghibur diri; menggunjingkan kehidupan.

Tempo hari saya sempat mendengarkan salah satu lagu dari penyanyi indie, project hambalang, namanya. judul lagunya pengangguran, ia angkat sebagai pledoi bagi kaum pengangguran yang mencoba berbahagia tetapi di lubuk hatinya, ingin memaki dunia. tentu lagu ini diperuntukkan pemuda yang belum terserap dalam tenaga kerja.

Omong-ngomong soal tenaga kerja, kawan saya yang barusan merampungkan studinya di UIN Jogja sempat mengeluh soal gaji dosen honor di salah satu perguruan tinggi negeri di Gorontalo. setelah ia mengampu 2 mata kuliah dengan bobot 3 sks, ternyata gajinya yang kadung dirapel selama 6 bulan itu hanya berjumlah Rp.700.000. angka yang kalau dibandingkan dengan UMP penjaga syawalayan, mungkin dianggap sebuah lelucon.

Tetapi, bukankah hidup ini hanyalah sebuah lelucon yang terdiri dari kegetiran hidup di sana sini? sama halnya dengan usia 27 tahun. yang katanya matang dalam bekerja. menjajal karir. berumah tangga. Beranak pinak. dan sebagainya. dan sebagainya yang lain. sampai ajal menjemput.

Write a comment