Review buku Sapiens: perjalanan Manusia dalam 500 halaman.

Anda tertarik ingin membaca buku Sapiens karya Yuval Harari? mungkin ulasan ini bisa memberikan gambaran tentang buku tersebut.

| wide image
ulasan buku sapiens 
Saya termasuk orang yang lambat membaca buku ini. lambat dalam artian, baru membacanya di tahun 2018 akhir. Kendati, beberapa teman saya sudah lebih dulu membaca dan mengobrolkan buku ini di tempat tongkrongan. entah sekadar membicarakan beberapa bab yang menarik, atau membahas pemikiran Yuval yang bisa dikata, nir agama. 

Disela obrolan itulah, saya lebih banyak diam, atau hanya mencuri dengar tanpa ada niatan sama sekali untuk membeli dan membaca buku ini. 

Asumsi awal saya, buku dengan genre semacam ini terasa kurang cocok dengan saya sendiri. 

Sebagai buku bertema sains populer, ada banyak kosa kata yang sulit dipahami oleh pembaca awam semacam saya. 

Selain itu, kurang punya latar pemahaman sains, baik secara keilmuan eksak, dan tidak familiar dengan istilah sains, adalah sekian pertimbangan saya kurang bergairah mencicipi buku ini. 

kadang hal ini diperparah dengan buku-buku bertema sains serupa yang ditulis dan beredar di pasaran terkesan kaku bahasannya. 

Pun kalau tidak, kendala penerjemahan bisa mengganjal saya kurang meminati membaca buku tema sains populer semacam sapiens ini. terjemahan buruk, penyusunan kalimat yang dirasa kasar, adalah pertimbangannya. begitulah kira-kira.

Nyantanya tidak sama sekali. asumsi saya salah besar.Sapiens mungkin salah satu buku sains populer yang patut dikecualikan. 

kenapa buku sapiens layak dibaca?


Jawabannya sederhana saja. kalau boleh jujur, buku ini ditulis dengan gaya mengalir dengan pengambaran memukau. bahkan sangat ringan malah. 

Hampir di tiap bab banyak menawarkan insight baru nan segar, pun diselipi lelucon satir yang merangsang pemahaman kita soal melihat dunia sekarang. tentang perkembangan sapiens serta pencapaiannya. 

Hal ini yang saya rasa jadi pembeda dengan buku tema sains populer yang lebih dulu beredar di pasaran Indonesia. 

Membaca sapiens dengan gaya penulisan dan penutur Yuval, semacam memberikan pengalaman menarik bagi pembaca awam semasam saya ini untuk tetap mengikuti setiap penjelasannya di tiap lembaran buku.

Kualitas terjemahan buku sapiens


Oh iya, perlu diketahui, sebelumnya  Sapiens  telah diterbitkan dan dialih bahasakan oleh dua penerbit Indonesia, yakni penerbit KPG dan alvabet. 

Untuk edisi KPG sendiri diterjemahkan oleh Damaring Tyas, seorang yang berkecimpung dalam bidang Biology, sains, sejarah dan pernah mendapatkan beasiswa di Tokyo Gakugei University di tahun 2013. Sedangkan penerbit berikutnya, alvabet, dialih bahasakan oleh Yanto Mustafa. 

Membandingkan kualitas terjemahan ke dua buku ini memang tergantung dari selera pembaca masing-masing. tapi kalo saya sendiri lebih memilih terbitan KPG karena latar belakang Damaring di bidang Biologi memungkinkan hasil terjemahan Yuval mendapat pemilihan padanan istilah sains yang mudah dipahami oleh pembaca awam di bidang tersebut.

Tampilan Cover buku Sapiens dan layoutnya.


Membicarakan buku sapiens dari secara fisik, kalau boleh jujur, saya lebih menyukai tampilan dan layout terbitan KPG ketimbang Alvabet. meski memang, KPG mencoba meniru cover dalam edisi perdana dari buku ini. 

Ada gambar sidik jari kecil di sampul depan di antara huruf judul buku. sedangkan edisi terbitan alvabet, gambar sidik jarinya cenderung besar. meskipun untuk ukuran buku, ke dua penerbit, baik KPG maupun Alvabet lebih memilih ukuran sedang ketimbang kecil, sebagaimana yang diterbitkan dalam edisi Inggris.

buku sapiens terbitan vintage book | wide image
sapiens terbitan vintage book memiliki kemiripan dengan terbitan KPG


Terbitan KPG menggunakan kertas buku berwarna kuning yang agak cukup tebal sehingga memberi kesan nyaman bagi mata. pemilihan kertas ini minimal tidak menimbulkan kesan transparan yang bisa berakibat, tulisan di belakang halaman, bakalan muncul, atau terlihat agak transparan. 

Pemilihan huruf, jarak spasi, lebih enakan terbitan KPG ketibang alvabet. walaupun yah, untuk hal ini, tergantung dari selera masing-masing pembaca.

Ulasan singkat mengenai isi buku Sapien.


Di awal bab buku ini, Yuval mencoba menguraikan muasal perjalanan sapiens sambil meminjam teori evolusi Darwin. walaupun terasa agak kaku, tapi saya masih bisa mengikuti cara penulisan yuval yang renyah dan menggelitik. Mungkin kalau dibandingkan, cara penyajian Yuval bisa dibilang sebelas dua belas dengan cara penguraian Dawkins yang sama-sama mengagumi Darwin.

Tiga irisan revolusi sapiens


Yuval membagi bagian buku ini dengan tiga irisan perjalanan manusia. Di mulai dari revolusi kognitif, ke revolusi pertanian, hingga revolusi sains. Ke tiga irisan tersebut menggambarkan bagaimana perkembangan manusia dalam mendominasi planet bumi; eksploitasi, melangsungkan kerja sama, bertahan dari bencana dan penyakit, serta menyatu dengan fiktif kolektif dalam pengertian Yuval sendiri.

Sayangnya, dalam bagian awal perjalanan Sapiens, Yuval memilih pendekatan evolusi Drawinism dalam menguraikan evolusi Sapiens. 

Padahal, di luar Darwin sendiri, terdapat beberapa pemikir serupa yang hidup sezaman dengan Darwin. Alfred Wallace misalkan. yang dalam hasil-hasil risetnya, turut menginspirasi Darwin dalam menyusun teori evolusinya. kita bisa merujuk perjalanan dan catatan mendetail Wallace di nusantara dengan menekuri buku the history of malaya. sebuah masterpiece ia dalam menjelajah alam nusantara.

Yuval juga menawarkan teori sejarah bahwa di masa sapiens hidup, terdapat juga spesies manusia purba sejenis yang mendiami belahan bumi lainnya. 

Seleksi alam terjadi bukan karena adanya musibah besar yang mempunahkan spesies neanderthal, tetapi karena proses persaingan dengan sapiens dalam mempertahankan kebutuhan hiudp, beradaptasi, serta kemajuan dalam menjalin kerja sama.

Sebagaimana judul bukunya yang menitik beratkan pada riwayat singkat umat manusia, apa yang dikemukakan yuval sendiri memang masih bersifat umum semata. Itupun, ia lebih mengemas tulisannya secara popular untuk menyampaikan gagasan ke pembaca umum. 

Ini memberikan nilai tambah, sebab dengan begitu, pembaca yang jarang atau bahkan berada di luar kajian sains dan sejarah, bisa menyambangi pendapat Yuval.

Ini akan terasa berbeda bila membandingkan dengan buku serupa semisal Jared Diamond dalam Guns Stem dan stell yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit KPG. 

Jared, yang sepengakuan Yuval merupakan gurunya sendiri, di dalam buku tersebut lebih banyak memaparkan data sejarah dengan lebih mendetail. Lokus tulisannya juga di batasi pada dua wilayah, yakni papua dan beberapa Negara maju. Hal yang mungkin akan jarang ditemukan dalam tulisan Yuval sendiri.

Yuval di dalam buku Sapiens lebih banyak mengelaborasikan banyak pendekatan dari pemikiran filsafat, evolusi Darwinism, sejarah, agrokultur, nasionalisme, agama, hukum, latar belakang perkembangan ideology dari kapitalisme, kolonialisme, hingga komunisme, dan balik lagi ke pandangan sejarah.


Mungkin Yuval mencoba melakukan berbagai pendekatan dalam membedah perjalanan sapiens, alih-alih terjebak pada pendekatan sejarah semata. hasilnya, buku ini menawarkan kajian sejarah dengan cara pendekatan yang mengaborasikan berbagai pemikiran dari luar ilmu sejarah. 

Efeknya, cara penyajian yang lintas displin ilmu ini terasa menyenangkan untuk dibaca. karena pembaca mendapat posisi perspektif yang berbeda bila dibandingkan dengan buku-buku sejarah mainstream lainnya.

Yuval juga banyak mengemukakan pertanyaan dan pernyataan menggelitik di dalam buku ini untuk memancing diskusi dengan pembaca. Meskipun ia sendiri tidak menutup dengan memberikan jawaban akhir. 

Yuval membiarkan pembaca memilih sendiri mengenai fakta-fakta yang ia kemukakan di dalam buku sapiens. Sesekali, selipan humor –yang kadang kala terksesan sarkas—membuat tulisannya makin renyah untuk dikonsumsi, atau diperdebatkan lebih lanjut. Yuval saya rasa lihai memainkan humor untuk memantik rasa ingin tahu pembaca.

Gagasan Fiksi ala Yuval di dalam buku Sapiens


Salah satu pemikiran Yuval yang menarik untuk didiskusikan adalah pendapatnya tentang fiksi. Baginya, sapiens banyak dan membutuhkan fiksi sebagai imajinasi bersama guna merekatkan kerja sama.

Definisi "fiksi" sendiri, saking luwesnya, definisi tersebut bisa digunakan oleh Yuval untuk mengategorikan agama, mitos, bahasa, uang, ideology, bangsa, Negara, sebagai  bagian fiksi dari Sapiens. Meskipun lagi-lagi, argumen yang coba di bangun Yuval masih umum saja.

Sekadar pengantar untuk pembaca dan memberikan stimulus lanjutan bagi pembaca yang tertarik mengenai pendapat ini untuk merujuk ke sejumlah referensi yang ditawarkan oleh penulis. 

Singkat kata, bagi Yuval, definisi fiksi adalah sebuah kategori yang coba ia lekatkan kepada hal-hal yang sifatnya immateri. sesuatu yang coba diidealkan, sebelum akhirnya mendapatkan kesepakatan bersama di mata masyarakat. fiksi bagi yuval laksana imaji kolektif yang telah absah karena kesepakatan sosial. 

Uang misalkan. secara nilai, ia adalah sesuatu yang fiksi. imajinasi saja. tetapi karena ia telah disepakati  bersama, maka nilai yang terkandung di dalamnya telah menjadi pegangan semua orang. kendati, secara bahan material, logam dan kertas kadang kala nilainya bisa di bawah dari nominal angka yang tertera. 

konsep nilai di dalam uang itulah, yang bagi Yuval adalah fiksi. sedangkan bentuknya, baik berupa uang kertas, logam, maupun angka digital di dalam data rekening, hanyalah sebuah materi yang terbentuk dari hasil fiksi yang diandaikan. 

Kita bisa membandingkan konsep serupa, ke dalam bangsa dan negara sebagai fiksi, dengan menelusuri hasil kajian mendiang Ben Anderson, misalnya, di dalam bukunya Imagined Communities

Ben di dalam buku tersebut memaparkan bahwa asal usul sebuah konsep bangsa berakar dari imajinasi bersama suatu masyarakat local dan kian hari kian meluas sampai membentuk komunitas yang lebih besar, yakni negara dan bangsa. 

Bangsa dan negara hanyalah imajinasi yang coba dibayangkan dalam suatu komunitas. sebelum ada negara, wilayah tersebut telah ada. tetapi, begitu konsep negara dan bangsa muncul, konstruk sosiallah yang bermain di situ. 

Orang mengimajinasikan negara mulai dari batas wilayah, bahasa, identitas, lambang negara, sampai bendera dan hukum yang meliputinya.  buku Ben Anderson ini, sependek yang saya ingat, telah diterjemahkan oleh penerbit INSIST press Yogyakarta.

Yang menarik, tatkala membaca pemikiran Yuval soal konsep fiksi dalam Agama. Mungkin, bagi pembaca konservatif, terlebih agamawan, akan berang dibuat Yuval ketika membaca bagian ini. 

Agama, yang kebanyakan dipamahami sebagai sesuatu yang sakral, oleh Yuval dianggap “fiksi”, dan karenanya, ia berfungsi untuk menyatukan sapiens bekerja sama tanpa dibatasi wilayah.  

Yuval mencoba menyusun pendapatnya dengan penguraian bagaimana agama berkembang dari tahap awal, yakni animisme, sampai merujuk pada agama-agama besar monotheis. 

Pada fase Agama besar inilah, kerekatakan kerja sama antar sapiens kian terjalin karena bila dibandingkan dengan agama lokal yang memang tidak memiliki misi dakwah selain di luar teritori kepercayaan sekitar, agama besar --monotheis-- bisa fleksibel dan bersifat ekspansif (dakwah) tanpa terbatasi teritori. 

Sebagai contohnya, masyarakat pesisir memiliki kepercayaan dewa-dewa yang berkait erat dengan wilayah pesisir itu sendiri, entah kepada penghuni lautan, karang, dan sebagainya. karena kepercayaan awal ini sangat erat dengan wilayah sekitar, maka orang pesisir tak mungkin menyebarkan kepercayaannya kepada orang yang bermukim di pegunungan, yang lebih condong memercayai dewa-dewi yang bersemayam di dalam gunung, atau pohon keramat. 

Begitupun sebaliknya, kepercayaan masyarakat pegunungan, akan condong tertolak konsep ketuhanannya bila diperkenalkan ke masyarakat yang asing dengan wilayah pegunungan. 

Hal yang berbeda, bila diterapkan ke agama besar. Secara teologis, agama besar memiliki konsep Tuhan yang tak dibatasi ruang dan waktu, dalam artian konsep ketuhanannya bersifat luwes. orang pesisir maupun pegunungan, bisa memercayai konsep Tuhan semacam ini. belum lagi rata-rata, agama besar memiliki pola untuk menyebarkan pemhaman keagamaannya ke tempat lain. misi keagamaan, atau dakwah, atau penginjil, adalah salah satu contohnya.

Makanya, pemikiran Yuval tentang fiksi agama ini bisa mendapat tanggapan keras kalau kita hanya memosisikan diri sebagai pembaca yang berhenti pada definisi umum dari fiksi itu sendiri. Hal ini, sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat menjelang pilpres kemarin. Tentu, masih segar dalam ingatan kita bagaimana pernyataan Rocky Gerung mengenai konsep fiksi kitab suci yang menuai reaksi keras tempo hari itu.

Sebagai buku sejarah dengan multi pendekatan, buku Sapiens menarik untuk menggugah pemikiran dan cara pandang kita dalam memahami eksistensi diri kita sebagai manusia yang kian hari, mendominasi kehidupan di Bumi. Manusia yang tetap mengeksploitasi bumi beserta isinya, juga kian hari, pasca revolusi sains dengan segala kemajuannya, mulai menggeser posisi agama sebagai solusi antroposentris manusia. Yuval mencoba melanjutkan tesisnya tersebut ke dalam buku berikutnya,  homo deus.

Komentar

(2)
  1. keren sih membaca sapiens. banyak insight baru yang ditawarkan Yuval ke pembaca.

    BalasHapus
  2. Ya mas. Seru dan membuka wawasan kita soal bagaimana manusia bisa bertahan dan menguasai bumi.

    BalasHapus

Posting Komentar