Tertahan di Jogja, bertahan dari pandemi.

seni bertahan hidup saat awal pandemic melanda Jogja setahun silam.

| wide image
Photo by Mahendra Febrianto on Unsplash
Tahun 2020 memang bangsat sekali. Tiba-tiba pandemi menghantam hampir segala lini kehidupan. Sekolah diliburkan, kota nampak mati suri, ekonomi menurun, apalagi perkuliahan. semuanya  kena imbas. 

Terlebih, bagi pelajar yang tengah menempuh studi di luar daerah. Suasana kian terasa karena perubahan drastis di hampir segala aktivitas yang kerap dijalani saban hari, berbalik 180 derajat. 

Di jogja sendiri, pandemi mulai merambah di akhir bulan februari. Kota Solo yang hanya bertaut sekian kilometer dari Jogja, lebih dahulu kena imbas sebaran kasus covid. Angka kenaikan makin hari makin bertambah. Suasana itu lambat laun menerpa pula di Jogja, menyusul ditemukannya kasus pertama karena sebaran dari orang yang melakukan perjalanan dari Jakarta. 

Sebagai kota pelajar yang banyak dihuni oleh pendatang dari luar Jogja, kota jogja kian hari terasa seperti kota mati. kos-kosan ditinggal penghuni. jalanan lengang, menyusul mulai dikeluarkannya maklumat dari tiap kampus untuk menunda perkuliahan tatap muka. Daerah pemukiman yang banyak dihuni oleh mahasiswa, terlebih basis daerah kos-kosan, langsung sepi. dari wilayah Sapen UIN suka, Babarsari, Seturan, Concat, hingga Jakal atas dekat UII..

Asbabnya, banyak mahasiswa yang memutuskan keluar dari Jogja untuk sekadar mengamankan diri dari sebaran virus ini. bahkan sekian orang memadati bandara Adisucipto. Anda bisa bayangkan bila mahasiswa kampus sekelas UGM yang menampung ribuan mahasiswa itu, tiba-tiba sebagian besar mahasiswanya berbondong-bondong meninggalkan Jogja. belum dengan kampus besar lainnya semisal UPN, UII, UMY, UNY, UIN, dan lainnya.

Saat pemerintah pusat mengeluarkan rencana menutup sementara bandara guna meminimalisir perjalanan manusia sebagai upaya menekan penyebaran pandemi, seketika banyak mahasiswa yang langsung memutuskan buru-buru balik ke kampung halaman.

Di akhir bulan februari hingga awal maret saat jumlah penumpang yang memadati bandara langsung melonjak. saya menyaksikan sendiri bagaimana akhir februari di bandara Adisucipto antrian mengular sampai keluar halaman. Area yang dulu berfungsi sebagai tempat mengantar penumpang itu bahkan dipadati oleh mahasiswa yang menunggu jadwal pemberangkatan.

Singkatnya, rata-rata kepanikan melanda hampir seluruh mahasiswa di Jogja. banyak orang bergegas pulang mumpung belum diberlakukannya lockdown oleh pemerintah setempat.

Bertahan di tengah pandemi

Meski demikian, sebagian kecil dari mahasiswa rantau ada yang terhalang untuk balik ke kampung halaman. Pertimbangan dari biaya, resiko tertular, dan swa karantina, adalah sebagian dari pertimbangan tersebut.

Saya dan beberapa kawan adalah segelintir orang mengambil keputusan tidak balik ke kampung halaman dan sempat menjalani masa-masa di mana kota Jogja terasa sunyi. Nyaris sepi hampir empat bulan lamanya.

Sebagai gambaran begini: beberapa tempat makan tutup mulai dari burjo, angkringan, nasi padang. Penjaja makanan berat favorit mahasiswa ini terpaksa menutup warung mereka karena sepi pembeli. Warung kopi apalagi, nyaris tak beroperasi sama sekali. Kondisinya mirip saat idul fitri. 

Jika kamu punya pengalaman menghabiskan waktu berpuasa dan lebaran di jogja, mungkin kamu punya bayangan bagaimana sepinya kota Jogja yang saya maksudkan. Hanya saja saat masa pandemi kemarin kondisi sepi kota Jogja cenderung berlangsung selama berbulan-bulan, bukan dua tiga minggu sebagaimana lebaran idul fitri. tentu saja, ini berimbas juga saat kami menjalankan puasa di bulan ramadhan sewaktu pandemi kemarin. 

Soal bagaimana mencari tempat makan saat berbuka atau sahur sungguh terasa sulit. mengharapkan makanan gratis berupa takjil di masjid, tentu bukanlah pilihan. karena rata-rata semua masjid meniadakan ritual ibadah berjamaah.

Masalah kedua, tidak semua kos-kosan di jogja, apalagi untuk ekonomi bawah dan kosan lelaki, menyediakan fasilitas dapur. Alhasil, untuk mengolah makanan, terasa sulit. 

Morat-marit distribusi bantuan.

Tidak meratanya distribusi bantuan makanan yang diberikan oleh pemerintah Jogja turut berimbas pada sebagian mahasiswa rantau yang bertahan di Jogjakarta. penyebabnya, distribusi makanan yang diberikan oleh pemerintah kebanyakan hanya menyasar ke warga lokal yang memiliki KTP setempat (Jogja). sedangkan untuk warga pendatang, sangat minim berkesempatan mengakses bantuan tersebut. 

Ancaman kekurangan bahan pangan dan kelaparan sangat terasa karena aktivitas jual beli di pasar dan minimarket sempat sepi. Sepi karena tidak beroperasi. sekalipun beroperasi, stok kesediaan makanan berkurang. pun kalau tersedia, harganya lumayan melonjak tinggi.

Meski di beberapa kampus ada yang berinisiatif memberikan makanan instan untuk mahasiswanya. tetapi, bantuan tersebut tidaklah memungkinkan untuk dikonsumsi dalam jangka panjang. Tentu Anda bertanya-tanya kenapa saya menyimpulkan demikian mengenai bantuan dari kampus tidak maksimal?

Karena bila melihat komposisi bantuan yang diberikan, kebanyakan berupa makanan makanan kemasan instan. makanan instan ini biasanya terdiri dari mie instan, ikan kaleng, minuman instan berupa sereal. ada juga beberapa butir telur, dan beras beberapa kilogram.

Makanan instan bagaimanapun juga meski memiliki nilai kepraktisan, tetapi cenderung kurang bernutrisi untuk dikonsumsi jangka panjang.

Di lain sisi, bila mengharapkan bantuan dari pemerintah tempat asal mahasiswa, rasanya tidak memungkinkan sama sekali. Akses bantuan terasa sangat jauh dan tak pasti. ditambah lagi kondisi saat awal pandemi, pemerintah daerah (Gorontalo) hanya berfokus menangani pandemi di wilayah kampung halaman si mahasiswa tanpa menjangkau nasib para mahasiswanya yang tertahan di tanah rantau, terlebih di Jogja.

Saya masih ingat saat itu bagaimana pemerintah Gorontalo sempat mengeluarkan himbauan untuk menunda kepulangan mahasiswa atau warganya di luar daerah ke Gorontalo guna meminimalisir sebaran covid. di awal tahun 2020, Gorontalo termasuk daerah yang belum ditemukan kasus covid-19. 

Kondisi Gorontalo sebagai daerah yang masih belum ditemukannya kasus sebaran covid lambat laun membentuk psikis masyarakat dalam melakukan aksi preventif yang cenderung massif. tagar #torangsopas sempat menggema di sosial media sebagai bentuk penolakan warga rantau yang berkeinginan balik ke daerah Gorontalo.

Sayangnya, himbauan dari pemerintah tidak dibarengi dengan bantuan yang diberikan berupa bahan pokok atau materi kepada warganya terutama mahasiswa di Jogja ketika sebagian dari mereka tertahan di tengah kepanikan yang melanda di wilayah Jawa. 

Aksi kolektif

Terdesak dengan keadaan yang serba tak pasti, sebagian mahasiswa mulai bergerak guna mengakali keterbatasan mereka. Banyak mahasiswa yang tertahan di jogja melakukan gerakan kolektif guna bersama-sama menghadapi pandemic di awal tahun 2020 silam.

Sebagian melakukan aksi kampanye menggalang donasi bersama dan mengelola donasi guna didistribusikan ke beberapa kawan-kawan yang terhalang pulang. 

kebanyakan, distribusi berupa makanan, masker --tentu masih segar bagaimana kelangkaan masker melanda saat itu--, hand sanitizer, dan sebagian vitamin sebagai langkah awal menjaga imun tubuh dan mencegah penularan covid-19. 

Di asrama Gorontalo sendiri, mahasiswa Gorontalo sempat melakukan gerakan donasi guna menekan imbas pandemi bagi mahasiswa yang tak sempat pulang. Donasi yang terkumpul kebanyakan berasal dari perorangan baik berupa senior yang dulu sempat mengenyam pendidikan di Jogja, atau warga Gorontalo yang telah menetap di Jogja. Beberapa berasal juga dari pemberian perorangan yang kebetulan kenal dengan kami di Jogja.

Sedangkan bantuan dari pemerintahan daerah sendiri, dalam hal ini pemerintah Gorontalo, nihil sekali waktu itu. Walau ada media lokal yang sempat memberitakan dan menyoroti permasalahan ini, akan tetapi, efeknya tidak terasa sama sekali. 

Seminggu usai berita tayang, tetap tak ada langkah cepat yang diberikan pemerintah Gorontalo guna memberikan bantuan kepada warganya yang tertahan di luar daerah terutama pelajar dan mahasiswa. Tentu, sempat timbul perasaan dianak tirikan atau sengaja dibiarkan karena kurangnya perhatian pemerintah daerah mengenai nasib kami.

Kalau diingat-ingat bagaimana kami berupaya menyatukan gerakan galang dana dan mengelola sumber daya keuangan yang ada guna kemanfaatan bersama-sama kala itu, bisa dibilang, aksi swa kelola ini mirip gerakan anarko kecil-kecilan yang berkolektif tanpa melibatkan pemerintah. bahkan nir pemerintah sama sekali. Semua terlaksana secara spontanitas dan mengedepankan asas kebersamaan dan senasib di tanah rantau. 

Mengingat kejadian setahun silam, rasa-rasanya kami semacam gerakan yang coba untuk survive di tengah kepanikan yang melanda dan sikap lepas tangan dari pemerintah yang terlanjur abai dalam melihat nasib sebagian warganya di luar daerah.

Write a comment